Udah lama aku ngga punya Salib buat digantung di kamar kost. Yang ada cuma Salib kecil, dari tasbih Rosari yang dulu pernah kubeli. Rosario yang biasa aku pake pun sepertinya kemarin hilang, ngga ketemu ketika kucari. Tapi bukan ini cerita yang ingin kubagi.
Satu bulan yang lalu, waktu pulang ke Jogja, sengaja
aku bawa Salib dari rumah. Kayu bersilang ukuran 7
kali 20 senti dengan ukiran sosok Yesus ditengah.
Setelah sampai di Bandung aku bingung, mau ditaruh
dimana Salib ini?
Akhirnya aku ngeliat cermin yang biasa kupakai sehari-hari. Tiap hari pasti aku ngaca di sana. Sekedar ngeliat apa baju udah te’pakai dengan bener, atau kalau-kalau ada sesuatu yang salah masih nempel pada wajahku. Aku bercermin setiap hari. Melihat badan duniawi, khawatir apakah telah tampil baik hari ini.
Lalu? Lalu aku berfikir dengan Salib yang masih ada di tanganku itu. Mau digantung di mana benda ini? Lalu? Lalu cermin itulah jawabanku! Aku beri perekat disisi belakang kayu, kubersihkan kaca cerminnya, dan
akhirnya kutempel Salib itu disana. Kutempel di
tengah-tengah cermin tempat aku melihat diriku setiap
harinya.
Konsekuensinya, ketika aku mau ngaca, Salib itu selalu jadi benda yang pasti kulihat, dan tentunya
ngehalangi aku untuk bercermin disana. Aku tahu dan
ini memang kusengaja. Mengapa?
Baju, perhiasan, dan keindahan duniawi selalu saja
kita perjuangkan. Dicari, dikejar untuk digenggam.
Keindahan diri, kecukupan hidup dalam hal materi,
pengakuan orang lain terhadap kekuatan pribadi dan
hal-hal sejenis menjadi contoh nyata mengapa manusia
bersama nafsu bekerja dalam tiap jengkal hidupnya.
Manusia cenderung ingin mendapat keberadaan dan memang cermin itulah salah satu cara mengetahuinya. Cermin membahasakan penampilan : sudah baik, atau masih buruk? Dan dari penampilan itulah kebanyakan orang menilai kita.
Salib itu sengaja kurekatkan di cermin, biar aku ngga
lupa. Ngga lupa kalau ada hal lain yang perlu aku
cerminkan, perlu aku lihat kembali setelah melewati
sebuah hari. Mencerminkan kehidupan iman hari ini.
Bercermin untuk melihat, sudahkah aku semakin seperti
Dia? Mungkin masih begitu jauh dari layak, tetapi
setiap manusia harus mencoba. Mencoba mencapai hal-hal yang lebih dari kebutuhan dunia. Hidup pasti ada
akhirnya, dan ketika itu, hanya iman yang bisa
menyelamatkan kita.
Selamat bercermin, semoga esok pagi menjadi pribadi
yang lebih lagi. Dunia maupun imani.
Satu bulan yang lalu, waktu pulang ke Jogja, sengaja
aku bawa Salib dari rumah. Kayu bersilang ukuran 7
kali 20 senti dengan ukiran sosok Yesus ditengah.
Setelah sampai di Bandung aku bingung, mau ditaruh
dimana Salib ini?
Akhirnya aku ngeliat cermin yang biasa kupakai sehari-hari. Tiap hari pasti aku ngaca di sana. Sekedar ngeliat apa baju udah te’pakai dengan bener, atau kalau-kalau ada sesuatu yang salah masih nempel pada wajahku. Aku bercermin setiap hari. Melihat badan duniawi, khawatir apakah telah tampil baik hari ini.
Lalu? Lalu aku berfikir dengan Salib yang masih ada di tanganku itu. Mau digantung di mana benda ini? Lalu? Lalu cermin itulah jawabanku! Aku beri perekat disisi belakang kayu, kubersihkan kaca cerminnya, dan
akhirnya kutempel Salib itu disana. Kutempel di
tengah-tengah cermin tempat aku melihat diriku setiap
harinya.
Konsekuensinya, ketika aku mau ngaca, Salib itu selalu jadi benda yang pasti kulihat, dan tentunya
ngehalangi aku untuk bercermin disana. Aku tahu dan
ini memang kusengaja. Mengapa?
Baju, perhiasan, dan keindahan duniawi selalu saja
kita perjuangkan. Dicari, dikejar untuk digenggam.
Keindahan diri, kecukupan hidup dalam hal materi,
pengakuan orang lain terhadap kekuatan pribadi dan
hal-hal sejenis menjadi contoh nyata mengapa manusia
bersama nafsu bekerja dalam tiap jengkal hidupnya.
Manusia cenderung ingin mendapat keberadaan dan memang cermin itulah salah satu cara mengetahuinya. Cermin membahasakan penampilan : sudah baik, atau masih buruk? Dan dari penampilan itulah kebanyakan orang menilai kita.
Salib itu sengaja kurekatkan di cermin, biar aku ngga
lupa. Ngga lupa kalau ada hal lain yang perlu aku
cerminkan, perlu aku lihat kembali setelah melewati
sebuah hari. Mencerminkan kehidupan iman hari ini.
Bercermin untuk melihat, sudahkah aku semakin seperti
Dia? Mungkin masih begitu jauh dari layak, tetapi
setiap manusia harus mencoba. Mencoba mencapai hal-hal yang lebih dari kebutuhan dunia. Hidup pasti ada
akhirnya, dan ketika itu, hanya iman yang bisa
menyelamatkan kita.
Selamat bercermin, semoga esok pagi menjadi pribadi
yang lebih lagi. Dunia maupun imani.
johanes kunto
No comments:
Post a Comment