Semuanya berawal dari masa kecil Abraham Sugio yang kelam. Untuk menghidupi anak-anaknya, ibu dari Abraham Sugio sempat menjadi buruh cuci pakaian. Ketika Abraham kecil pergi ke sekolah, tidak memakai sepatu, ia kerap dicemooh oleh teman-temannya.
"Saya suka disinisin oleh teman-teman saya, ditanya bahwa saya tidak punya sepatu. Jika saya jawab ‘iya,' itu memang yang terjadi. Jika saya jawab ‘tidak,' cemoohan itu semakin keras. Jika sudah begitu, saya hanya bisa menjauh dan menyendiri," Abraham berkisah mengenai masa kecilnya yang kerap dicemooh teman-temannya karena dahulu ia adalah seorang anak yang miskin.
Pengalaman pahit itulah yang membuat Abraham bekerja keras. Ia pun bekerja di biro perjalanan Tourism Internasional di kota Bali. Awalnya ia bekerja sebagai seorang driver. "Banyak pengalaman disitu yang saya dapatkan. Yang saya tidak biasa menangani bule, saya disitu harus berhadapan dengan bule. Singkat cerita saya satu tahun belajar, perusahaan melihat bahwa saya memiliki talent. Bahwa saya memiliki kelebihan daripada supir-supir yang biasa," kisah Abraham.
Setelah melalui proses yang panjang, Abraham akhirnya menjadi manajer di perusahaan travel tersebut. Ia pun menikah dan dikaruniai dua orang putri. Namun kecintaannya akan pekerjaan dan uang semakin menjadi-jadi.
"Kebiasaan orang asing, sehabis makan malam ada minum-minuman. Paling tidak, cocktail. Saya menjadi mengenal yang namanya dunia-dunia malam. Buat saya, minum itu berbicara kemewahan. Minum-minuman keras itu berbicara mengenai sesuatu yang wah, dan saya mampu melakukan itu. Saya merasa menemukan, level kehidupan saya itu mulai berbeda," kisah Abraham.
Suatu malam Abraham larut dengan kesenangan, hingga ia lupa bahwa keluarganya menunggu di rumah. Ketika ia pulang, istrinya bertanya darimana saja dirinya. Abraham menjawab dengan ketus, "Kerjalah, ma... Cari uang!" Tetapi istrinya berkata, "Kerja terus, pa... Mana waktu untuk kami, pa?
Dan Abraham hanya menjawab bahwa yang penting dirinya pulang bawa uang dan tetap bertanggung-jawab sebagai suami. Tetapi istrinya tetap berusaha menyadarkan dirinya, "Pa, saya memang butuh uang. Tetapi uang bukan segala-galanya. Saya juga butuh perhatian, anak-anak juga butuh perhatian dari bapanya," ujar istrinya. Dan Abraham tetap tidak mempedulikan keluhan dari istrinya.
Bagi Abraham, pekerjaan lebih penting dari keluarganya. Bahkan janji yang direncanakannya bersama keluarga, dibatalkannya. Istrinya merasa sangat kecewa. "Kami merasakan diduakan olehnya," istri Abraham berkisah. "Kayaknya, dia lebih mencintai pekerjaannya daripada keluarganya."
Jabatan dan penghasilan yang tinggi, tidak membuat Abraham puas. Ia pun membuka berbagai ragam usaha. "Ketika bisnis yang saya bangun ini, ternyata income-nya jauhhh lebih besar daripada apa yang menjadi gaji utama saya. Dan secara manusia, saya menjadi orang yang banyak uang, banyak fasilitas, dan saya punya banyak anak buah. Termasuk supir dan pemandu pariwisata. Ibaratnya saya mau ke belakang buang air kecil, diantar pakai BMW pun bisa, kisah Abraham.
Ia pun menambahkan, "Ketika saya bertemu dengan orang-orang yang mungkin satu level dengan saya, saya tunjukkan diri saya. Cara berjalan pun berbeda. Cara ngomong pun berbeda. Jadi, lebih banyak saya buat-buat."
Abraham seolah-olah ingin menunjukkan kepada kerabatnya bahwa ia sudah berhasil. "Saya tunjukkan bahwa saya mampu lebih daripada saudara-saudara saya semua, akhirnya apa, setiap pulang saya selalu ganti-ganti mobil," kisahnya.
Bahkan sikap Abraham pun menjadi lebih emosional. Pernah ia sampai mengusir karyawannya karena hasil kerjanya yang sangat buruk dan tidak sesuai dari permintaannya. "Kadang-kadang perkataan kasar saya, saya bawa pulang ke rumah. Dan disitu saya melihat, anak saya melihat saya. Setelah saya marah di telepon, saya malah menghardik mereka, "Apa lihat-lihat?!'"
Hidup bergelimang harta membuat Abraham menjadi sombong. Ia berkata kepada istrinya, "Tidak ada satu orang pun yang bikin kita kekurangan, gak ada suatu orangpun yang bikin kita bangkrut." Katanya kepada istrinya sambil menunjukkan tabungannya dan semua harta milik mereka.
Tetapi gejolak kerusuhan tahun 1998 yang terjadi di ibukota berdampak bagi bisnis Abraham. Travel warning menyebabkan turis enggan datang ke Bali dan membuat terhentinya berbagai bisnis Abraham. Ia pun terjerat dengan pinjaman yang harus ia lunasi.
"Ketika partner-partner meninggalkan saya, ketika relasi-relasi mulai menjauh, saya merasakan keputus-asaan yang luar biasa. Seperti seorang penjelajah yang mulai berjelajah sendirian tanpa seorang teman. Dan rasa putus asa saya itu tidak bisa saya bayangkan. Saya membayangkan bagaimana masa depan anak saya. Saya membayangkan bagaimana masa depan keluarga ini. Ada satu perasaan dimana saya takut sekali. Ada bayangan-bayangan takut saya, keadaan masa kecil saya terulang, jangan sampai ketidak-berdayaan di masa kecil saya itu terjadi lagi pada anak-anak saya," kisah Abraham.
Satu per satu mobil yang keluarganya miliki pun harus ia jual. "Saya harus ke notaris menjual rumah saya, saya harus menanda-tangani semua itu. Habis, lenyap, dalam seketika. Saya menghakimi suami saya, saya bilang ini semua gara-gara dia," kisah istrinya.
Dan Abraham tak mau disalahkan, "This is not my fault! Saya bilang begitu siapapun yang menyalahkan saya. Buat saya, ini karena keadaan pasar."
Malam itu Abraham bimbang hingga ia pun mengambil keputusan yang akan mengubah hidupnya. "Perasaan seperti itu... Kekuatan saya, knowledge saya, experience saya tidak menolong saya. Depan tembok, belakang tembok, kiri-kanan semua tembok. Dan itu tinggi, saya tahu... Hanya langit yang terbuka. Dan saya sadar, disitu ada Tuhan," kisah Abraham.
Dan Abraham berdoa di hadapan Tuhan, ia meminta ampun kepada Tuhan. "Kurun waktu sekian saya hanya bekerja, hanya fokus kepada uang. Tapi tidak pernah mencari Tuhan dengan lebih sungguh. Dan saat itu saya mengalami suatu pengertian, seolah-olah Tuhan berbicara langsung kepada saya - ‘Anakku, sekian lama Engkau meninggalkan aku' - Dan saya bilang, Tuhan ini aku. Saya datang dengan hati yang hancur, saya menangis di hadapan Tuhan. Dan perkataan Tuhan jelas sekali kepada saya - Alami pemulihan, proses akan berjalan -," Abraham berkisah mengenai bagaimana ia pun mencari wajah Tuhan di tengah keterpurukannya.
Abraham meninggalkan Bali menuju kota Jakarta. Disana ia mengalami proses yang panjang dan menyakitkan. "Setelah kejatuhan Tuhan itu, dan Tuhan memberikan pengertian bahwa saya harus melupakan masa-masa yang lalu. Karena kita tidak mau jalan di tempat, kami mulai ambil kesepakatan dengan istri bahwa kami harus lebih sungguh-sungguh lagi. Dalam hidup, dalam doa, dan dalam melakukan sesuatu."
Abraham menjalani hari-harinya dengan tekun dan setia. Kemewahan memang menjadi jauh daripada keluarganya. "Tetapi itu memang sukacita di hati saya, bahwa suami saya akhirnya bisa berada di dekat kami," ujar istrinya mengungkapkan bagaimana suaminya akhirnya berada di tengah ia dan anak-anaknya.
Kehidupan keluarga Abraham mengalami berbagai pemulihan ekonomi. Uang yang dahulu adalah segalanya bagi Abraham, tidak menjadi hal yang utama lagi. Abraham kini memilih untuk berbagi hidupnya dengan orang lain.
"Tuhan kasih pelayanan pertama kali yaitu pelayanan di tengah-tengah kaum marjinal. Mereka yang berada di rel-rel kereta api, mereka yang tinggal di tenda-tenda darurat. Mereka yang terusir, mereka yang terintimidasi, mereka yang tertolak. Sejak saat itu saya putuskan, saya akan melayani Tuhan," Abraham berkisah mengenai komitmen barunya mengenai pelayanan.
Justru ketika Abraham tidak lagi mengejar uang, Tuhan pun memberikan kelimpahan kepada mereka.
"Yesus luar biasa dalam kehidupan rumah tangga saya dan suami saya. Dia adalah jawaban doa dalam rumah tangga saya," ucapan syukur istri Abraham.
Abraham menutup kesaksian keluarganya, "Dalam Pengkhotbah 3 ayat 11, ‘Tuhan membuat segala sesuatunya itu indah pada waktunya."
(Kisah ini sudah ditayangkan 21 Januari 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel)
Sumber Kesaksian:
Abraham Sugio
No comments:
Post a Comment