Seandainya ada pertanyaan tentang mengapa seekor kambing menyeberang jalan, apa kira-kira jawaban yang muncul? Tentu saja jawabannya akan berbeda-beda. Seorang politikus akan menjawab, “Kami sama sekali tidak perduli mengapa kambing itu menyeberang jalan. Yang kami ingin tahu yaitu apakah kambing tersebut di pihak kami atau tidak; kambing itu baik terhadap kami atau tidak. Di sini tidak ada jalan tengah.” Pembela hak asasi manusia mungkin akan menjawab, “Saya mengharapkan sebuah dunia dengan penghuninya yang dengan bebas seperti kambing menyebarang jalan tanpa harus dipertanyakan. “Seandainya seorang salesman harus menjawab, mungkin jawabannya adalah, “Di seberang jalan ada prospek untuk dijadikan pelanggan.” Seorang buruh mungkin menjawab, “Karena kambing itu disuruh bosnya menyeberang.” Jawaban-jawaban tersebut mencerminkan pola pikir dari seseorang, seperti yang kita ketahui bahwa pola pikir seseorang nampak di dalam perkataan dan tingkah lakunya. Masalahnya bukan pada benar atau salahnya jawaban-jawaban tersebut, tetapi terletak pada apa yang mempengaruhi seseorang sehingga terbentuk pola pikir seperti itu.
Terbentuknya pola pikir seseorang banyak dipengaruhi oleh masa lalunya, juga oleh apa yang sering dilihat, yang sering dibaca, yang sering didengarkan da yang sering dikerjakan. Sebagai contoh, Yefta menjadi perampok karena latar belakangnya yang sangat pahit dan berkumpul dengan para perampok. Pikirannya tidak pernah terlepas dari merampok. Tetapi, setelah kembali ke habitat yang benar, pola pikirnya menjadi benar, tindakannya pun menjadi benar, yaitu berjuang untuk kemenangan bangsanya sesuai dengan tuntunan Tuhan.
Ada tiga hal yang diajarkan di dalam Alkitab supaya terbentuk pola pikir yang benar:
Pertama, bergelut dengan firman Tuhan. Kepada Yosua, Tuhan mengingatkan supaya ia tidak lupa memperkatakan kitab Taurat dan merenungkannya siang dan malam. Dengan cara itu, pola pikir Yosua menjadi benar sehingga tindakannya pun hati-hati dan disesuaikan dengan isi kitab Taurat. Demikian juga kita harus menjadikan firman Tuhan sebagai makanan wajib, karena firman Tuhan itu akan membersihkan kita dari pandangan yang tidak benar.
Kedua, membiasakan diri berpikir hal yang benar. Paulus mendesak jemaat di Filipi untuk membiasakan diri memikirkan perkara yang benar. Kepada jemaat di Kolose dia berkata hal yang sepadan, “Pikirkanlah perkara yang diatas, bukan yang di bumi.” (Kol 3:2).
Ketida, tidak mengasihi dunia dengan apa yang ada di dalamnya. Menurut Yohanes, mengasihi dunia akan menghilangkan kasih kepada Tuhan. Dengan demikian secara otomatis yang terbentuk pola pikirnya adalah dunia. Untuk itu, jangan mengasihi dunia.
Tidak ada kata terlambat untuk mengubah pola pikir yang dipengaruhi dunia dengan pola pikir yang dipengaruhi Tuhan dan firmanNya. Hanya, jangan kita menunda-nunda, karena semakin lama kita tidak bertindak, semakin sulit mengubahnya.
Doa
Ya Roh Kudus, bimbing aku untuk mengutamakan persekutuan dengan Tuhan dan firmanNya, sehingga bukan “dunia” yang akan mempengaruhi hidupku. Dalam nama Yesus. Amin.
Sumber: Manna Sorgawi, No. 151 Tahun XIII
No comments:
Post a Comment