Aku ingin percaya bahwa cinta itu ada. Aku ingin percaya bahwa kejujuran itu nyata. Aku ingin percaya. Tetapi....” Dia berkata sambil menunduk. Di luar, langit sedang muram. Gerimis jatuh perlahan. Dan jalan sepi. Kami duduk di teras rumahnya sambil memandang ke jejeran tanaman azalea yang menghiasi pagar halamannya. Petang belum tiba, namun langit gelap. Matahari bersembunyi di balik mendung tebal. Setebal mendung di hatinya. Dan itu terjadi dua tahun lalu.
Wajahnya sedang kusut. Matanya sedang muram. Beberapa waktu sebelumnya, istrinya menghilang bersama seorang anaknya yang berumur 9 tahun. Dan setelah lama mencari kabar, istrinya mengirimkan sepucuk surat, meminta perceraian karena, tulisnya, dia tidak lagi mampu hidup dengannya. Memang, setahuku, keluarganya tidaklah bahagia. Percekcokan sering terjadi antara mereka. Keduanya memiliki sifat yang saling bertentangan. Dan keduanya pun tak bisa saling mengalah dan memahami satu sama lain. Hidup rumah tangga mereka serupa neraka saja. Namun tetap saja, peristiwa itu menjadi satu pukulan baginya.
“Apa yang harus kulakukan saat ini?” tanyanya padaku petang itu. “Apa yang harus kuperbuat? Haruskah aku menerima permintaan istriku atau aku menolaknya karena agama kami melarang perceraian? Tetapi jika kehidupan bersama kami dilanjutkan dalam suasana yang sama, tidakkah kami hanya menyia-nyiakan kehidupan kami? Tetapi bagaimana dengan anak kami? Ah, aku bingung. Aku ingin percaya bahwa cinta itu ada, tetapi......” Dia menghela napas panjang lalu menatapku tak berdaya.
Aku, sahabatnya. Aku, juga sahabat istrinya. Apa yang harus kulakukan? Saat itu aku bingung. Aku mungkin bisa memberikan hiburan dan nasehat-nasehat standar yang pernah kubaca dalam buku-buku tentang bagaimana memecahkan masalah keluarga, tetapi saat itu aku merasa semuanya takkan berguna. Hidup, yang mereka jalani bukan hidup yang kujalani. Perasaan, yang mereka alami bukan perasaan yang kualami. Dan pengalaman mereka bukanlah hanya sebuah teori di atas kertas bacaan saja. Apa yang harus kulakukan?
Saat itu, seingatku, aku hanya berkata, “cobalah untuk hidup berpisah dulu sambil merenungkan kesendirian kalian masing-masing. Tapi jangan dulu memikirkan perceraian. Jangan. Biarkan waktu mengendapkan pertikaian di antara kalian. Berdoalah dan mohonlah bimbingan Tuhan. Pergilah ke tempat-tempat dulu kalian pernah berpacaran dan nikmatilah kesendirian kalian di sana” Aku menyampaikan pendapatku tanpa rasa kepastian. Seolah hanya untuk menarik-narik waktu agar mereka dapat berpikir kembali dan tidak hanya tenggelam dalam aliran perasaan saja. Ya sering, kita hanya larut dalam perasaan tanpa mampu berpikir jernih, terutama saat sebuah ledakan peristiwa sedang terjadi. Demikianlah, malam telah tiba saat aku meninggalkannya sendirian. Hujan jatuh rintik dan aku berharap udara yang cukup sejuk mampu membuatnya berpikir jernih dan sederhana.
Dua hari lalu, saat hiruk pikuk kenaikan BBM masih terus berlangsung, aku bertemu dengannya di Mal Panakkukang. Dia dan bersama istrinya dan, anaknya serta seorang bayi yang dibopong istrinya. Kami lalu saling menyapa, lalu mereka mengundangku untuk makan bersama di sebuah resto kecil yang punya jendela kaca langsung menghadap ke panorama jalan karena resto ini terletak di atas jembatan penyeberangan Mal. Kami duduk bercerita sambil tertawa-tawa bersama. Tak nampak lagi kekusutan di wajah mereka. Bayi yang dibopong istrinya tiba-tiba menangis keras, dan istrinya kemudian sibuk mengurus bayinya, bayi mereka.
“Nampaknya semuanya kembali seperti semula” kataku padanya. “Ya, bahkan lebih baik dari semula” katanya padaku. “Apa yang telah kau lakukan sehingga istrimu kembali?” tanyaku. Dia memandangku dan tersenyum. “Pertama-tama aku mau menyampaikan terima kasih atas nasehatmu dulu. Ya, aku membiarkan semuanya mengalir saja. Tapi aku juga memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi pada kami. Sesekali aku mengunjungi tempat-tempat kami pernah berpacaran dulu. Keindahan suasana dan perasaan kehilangan serta kesendirianku lalu membuatku berpikir. Selama ini, aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Selama ini aku tak pernah mau memahami dirinya. Aku hanya mau percaya pada cinta dan kejujuranku sendiri, tanpa pernah percaya bahwa dia pun memiliki cinta dan kejujurannya sendiri. Aku berdoa, aku memohon pada Tuhan, dan aku mendengar suara hatiku berkata bahwa aku harus meminta maaf dan juga memaafkan segala yang telah terjadi diantara kami. Begitulah, temanku, kami lalu menyusun rencana baru, namun kali ini dengan lebih rasional. Sebab kami menyadari bahwa ternyata, jauh lebih indah untuk hidup bersama seperti dulu daripada masing-masing hanya memikirkan diri dan kepentingan kami sendiri-sendiri. Sekarang, kami bahkan sudah memiliki seorang bayi lagi hehehe....” Wajahnya cerah, senyum merekah di bibirnya dan matanya berbinar-binar. Saat itu aku merasa lega. Amat lega.
Dimanakah cinta? Dimanakah kejujuran? Di dalam kepercayaan kita satu sama lain. Di dalam doa kita kepada Tuhan. Di dalam saling pengertian dan pemahaman kita pada kehidupan ini. Kepercayaan kita terletak tidak di dalam diri kita, tetapi pada orang-orang yang kita temui di mana saja. Ya, cinta dan kejujuran hanya berarti jika kita percaya pada Tuhan dan sesama kita. Bukan hanya pada diri kita saja. Bukan pada diri kita saja. Dan aku kira, itulah gunanya kita hidup di dunia ini.
Tonny Sutedja
Wajahnya sedang kusut. Matanya sedang muram. Beberapa waktu sebelumnya, istrinya menghilang bersama seorang anaknya yang berumur 9 tahun. Dan setelah lama mencari kabar, istrinya mengirimkan sepucuk surat, meminta perceraian karena, tulisnya, dia tidak lagi mampu hidup dengannya. Memang, setahuku, keluarganya tidaklah bahagia. Percekcokan sering terjadi antara mereka. Keduanya memiliki sifat yang saling bertentangan. Dan keduanya pun tak bisa saling mengalah dan memahami satu sama lain. Hidup rumah tangga mereka serupa neraka saja. Namun tetap saja, peristiwa itu menjadi satu pukulan baginya.
“Apa yang harus kulakukan saat ini?” tanyanya padaku petang itu. “Apa yang harus kuperbuat? Haruskah aku menerima permintaan istriku atau aku menolaknya karena agama kami melarang perceraian? Tetapi jika kehidupan bersama kami dilanjutkan dalam suasana yang sama, tidakkah kami hanya menyia-nyiakan kehidupan kami? Tetapi bagaimana dengan anak kami? Ah, aku bingung. Aku ingin percaya bahwa cinta itu ada, tetapi......” Dia menghela napas panjang lalu menatapku tak berdaya.
Aku, sahabatnya. Aku, juga sahabat istrinya. Apa yang harus kulakukan? Saat itu aku bingung. Aku mungkin bisa memberikan hiburan dan nasehat-nasehat standar yang pernah kubaca dalam buku-buku tentang bagaimana memecahkan masalah keluarga, tetapi saat itu aku merasa semuanya takkan berguna. Hidup, yang mereka jalani bukan hidup yang kujalani. Perasaan, yang mereka alami bukan perasaan yang kualami. Dan pengalaman mereka bukanlah hanya sebuah teori di atas kertas bacaan saja. Apa yang harus kulakukan?
Saat itu, seingatku, aku hanya berkata, “cobalah untuk hidup berpisah dulu sambil merenungkan kesendirian kalian masing-masing. Tapi jangan dulu memikirkan perceraian. Jangan. Biarkan waktu mengendapkan pertikaian di antara kalian. Berdoalah dan mohonlah bimbingan Tuhan. Pergilah ke tempat-tempat dulu kalian pernah berpacaran dan nikmatilah kesendirian kalian di sana” Aku menyampaikan pendapatku tanpa rasa kepastian. Seolah hanya untuk menarik-narik waktu agar mereka dapat berpikir kembali dan tidak hanya tenggelam dalam aliran perasaan saja. Ya sering, kita hanya larut dalam perasaan tanpa mampu berpikir jernih, terutama saat sebuah ledakan peristiwa sedang terjadi. Demikianlah, malam telah tiba saat aku meninggalkannya sendirian. Hujan jatuh rintik dan aku berharap udara yang cukup sejuk mampu membuatnya berpikir jernih dan sederhana.
Dua hari lalu, saat hiruk pikuk kenaikan BBM masih terus berlangsung, aku bertemu dengannya di Mal Panakkukang. Dia dan bersama istrinya dan, anaknya serta seorang bayi yang dibopong istrinya. Kami lalu saling menyapa, lalu mereka mengundangku untuk makan bersama di sebuah resto kecil yang punya jendela kaca langsung menghadap ke panorama jalan karena resto ini terletak di atas jembatan penyeberangan Mal. Kami duduk bercerita sambil tertawa-tawa bersama. Tak nampak lagi kekusutan di wajah mereka. Bayi yang dibopong istrinya tiba-tiba menangis keras, dan istrinya kemudian sibuk mengurus bayinya, bayi mereka.
“Nampaknya semuanya kembali seperti semula” kataku padanya. “Ya, bahkan lebih baik dari semula” katanya padaku. “Apa yang telah kau lakukan sehingga istrimu kembali?” tanyaku. Dia memandangku dan tersenyum. “Pertama-tama aku mau menyampaikan terima kasih atas nasehatmu dulu. Ya, aku membiarkan semuanya mengalir saja. Tapi aku juga memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi pada kami. Sesekali aku mengunjungi tempat-tempat kami pernah berpacaran dulu. Keindahan suasana dan perasaan kehilangan serta kesendirianku lalu membuatku berpikir. Selama ini, aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Selama ini aku tak pernah mau memahami dirinya. Aku hanya mau percaya pada cinta dan kejujuranku sendiri, tanpa pernah percaya bahwa dia pun memiliki cinta dan kejujurannya sendiri. Aku berdoa, aku memohon pada Tuhan, dan aku mendengar suara hatiku berkata bahwa aku harus meminta maaf dan juga memaafkan segala yang telah terjadi diantara kami. Begitulah, temanku, kami lalu menyusun rencana baru, namun kali ini dengan lebih rasional. Sebab kami menyadari bahwa ternyata, jauh lebih indah untuk hidup bersama seperti dulu daripada masing-masing hanya memikirkan diri dan kepentingan kami sendiri-sendiri. Sekarang, kami bahkan sudah memiliki seorang bayi lagi hehehe....” Wajahnya cerah, senyum merekah di bibirnya dan matanya berbinar-binar. Saat itu aku merasa lega. Amat lega.
Dimanakah cinta? Dimanakah kejujuran? Di dalam kepercayaan kita satu sama lain. Di dalam doa kita kepada Tuhan. Di dalam saling pengertian dan pemahaman kita pada kehidupan ini. Kepercayaan kita terletak tidak di dalam diri kita, tetapi pada orang-orang yang kita temui di mana saja. Ya, cinta dan kejujuran hanya berarti jika kita percaya pada Tuhan dan sesama kita. Bukan hanya pada diri kita saja. Bukan pada diri kita saja. Dan aku kira, itulah gunanya kita hidup di dunia ini.
Tonny Sutedja
A. Tonny Sutedja
No comments:
Post a Comment